Pura Kehen yang terletak di Desa Cempaga, Bangli, memiliki banyak
keunikan. Selain letaknya yang strategis, pada pintu masuk pura tidak
menggunakan Candi Bentar seperti pada Pura Kahyangan Jagat umumnya.
Pintu masuk Pura Kehen memang agak berbeda, yakni menggunakan Candi
Kurung. Di samping itu, keberadaan Bale Kulkul pada batang pohon
Beringin turut memberi warna lain bagi Pura Kehen yang menjadi salah
satu objek pariwisata unggulan Kota Bangli.
Meski telah ditemukan tiga prasasti tentang Pura Kehen, namun belum
dapat dipastikan kapan sejatinya pura tersebut didirikan, dan apa yang
menjadi asal-usul nama Kehen itu sendiri. Berdasarkan prasasti ketiga
yang berangka tahun 1204 Masehi disebutkan beberapa pura yang mempunyai
hubungan kesatuan meliputi Pura Hyang Hatu, Hyang Kedaton, Hyang Daha
Bangli, Hyang Pande, Hyang Wukir, Hyang Tegal, Hyang Waringin, Hyang
Pahumbukan, Hyang Buhitan, Hyang Peken Lor, Hyang Peken Kidul dan Hyang
Kehen.
Kehen sendiri diperkirakan berasal dari kata keren (tempat api), bila
dihubungkan dengan prasasti pertama yang berbahasa Sansekerta– namun
tidak berangka tahun—di mana di dalamnya menyebutkan kata-kata Hyang
Api, Hyang Karinama, Hyang Tanda serta nama-nama biksu.
Jro Pasek Pura Kehen sebagai salah satu Dangka di Pura Kehen mengaku
belum begitu banyak mengetahui terkait sejarah Pura Kehen, terlebih Jro
Pasek yang masih berusia 23 tahun ini baru satu setengah tahun menjadi
Jero Mangku di Pura Kehen. Meski belum mengetahui terkait sejarah Pura
Kehen, namun keunikan atau kejadian mistis yang pernah terjadi di Kehen
pernah didengarnya dari cerita orangtua. Seperti halnya munculnya ula
(ular) duwe pada tahun 1960 pagi, saat itu masyarakat setempat yang baru
saja selesai menyapu di jaba pura menyaksikan secara langsung munculnya
ular duwe tersebut.
Selain itu, masyarakat setempat sangat percaya jika patahnya pohon
beringin yang terdapat di pura sebagai pertanda grubug (musibah). Hal
tersebut disimpulkan dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi secara
turun temurun.
Tidak hanya itu, letak bagian yang patah juga diyakini sebagai pertanda
musibah tersebut akan melanda orang tertentu. Misalnya pada saat raja
Bangli meninggal dunia, dahan pohon beringin yang letaknya di Kaja
Kangin (Utara-Timur) patah. Kemudian jika ada pendeta yang meninggal,
maka dahan pohon beringin sebelah Kaja Kauh (Barat Daya) patah.
Sedangkan jika bagian yang patah letaknya Kelod Kangin (Timur Lau) dan
Kelod Kauh (Tenggara) maka diyakini akan ada musibah yang menimpa
masyarakat.
Terkait upacara, karya di Pura Kehen Bangli berlangsung setiap enam
bulan sekali tepatnya pada Hari Raya Pagerwesi yakni setiap Buda Kliwon
Wuku Sinta. Namun, upacara besarnya yaitu Ngusaba Dewa atau biasa
disebut Karya Agung Bhatara Turun Kabeh berlangsung setiap tiga tahun
sekali, tepatnya Purnama Kalima, Saniscara Pon Wuku Sinta. Selain itu,
upacara kecil seperti Saraswati, Ulian Sugimanik, Purnama, Tilem, Kajeng
Kliwon serta Buda Kliwon juga dilangsungkan di Pura Kehen.
Sebagai Pura Kahyangan Jagat, setiap upacara yang dilaksanakan di Pura
Kehen, desa yang tergabung dalam Gebog (tatanan masyarakat) Domas (800)
dan Bebanuan Pura Kehen memiliki peran masing-masing, mulai dari
persiapan hingga pelaksanaan. Dalam hal wewangunan misalnya, Banjar
Kawan bertanggung jawab untuk membangun warung matanding, Banjar Tegal
membuat Penyawang, Sanggar Tawang Tutuan, Bale Gading dan Bale Timbang.
Banjar Pekuwon membangun warung pamuspaan, Banjar Pule membangun warung
ilen-ilen, Banjar Blungbang membangun warung mejahitan. Untuk Banjar
Gunaksa dan Sidembunut bertugas membangun linggih bhatara Perampean,
Banjar Kubu membangun linggih bhatara Melasti, tutuan, panggungan dan
pawedaan. Banjar Geria membangun sanggar agung peselang, sanggar agung
pemalik sumpahan. Banjar Bebalang membangung Bale Perayungan dan Banjar
Nyalian membangun warung peratengan.
Pembagian tugas tersebut dilakukan berdasarkan dresta dan sukat yang
telah dilaksankan dari tahun-ketahun dan tidak akan pernah diubah atau
ditukar-tukar. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas
masing-masing, juga memunculkan semangat kebersamaan dan saling memiliki
terhadap karya yang berlangsung di Pura Kehen.
Pemangku di Pura Kehen berjumlah 33 orang yang terbagi atas dua
golongan, yakni Dangka dan Pemaksan. Dangka terdiri dari 16 orang
pemangku yang bertugas sebagai pangempon khusus perampean atau
pelinggih-pelinggih di jeroan. Sedangkan Pemaksan yang terdiri dari 17
orang bertugas sebagai pembantu Dangka.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar